Berita Terhangat

Ruang Kelas dan Buku


Pendidikan pada abad XXI menempatkan ruang kelas sebagai tempat krusial. Harapan dan cita-cita ribuan anak bangsa ditempa di dalam ruang yang benama kelas. Kelas menjelma intrepretasi kesuksesan para siswa, mulai dari pagi hingga sore bahkan ada yang sampai malam mendekam di ruang kelas untuk mengais ilmu demi meningkatkan kualitas diri.
Harus diakui bahwa ruang kelas yang kondusif bisa memberikan peningkatan mutu pada proses belajar mengajar. Namun siswa pun tetap membutuhkan ruang terbuka untuk menemukan kemerdekaan berfikir dan bertindak. Dalam ruang terbuka tersebut seorang siswa terbebas dari penjara yang mengekang imajinasi. Mereka tak selamanya harus berhadapan dengan tembok, meja, kursi dan proyektor yang bisu dan pucat imajinasi.
Tulisan Menawarkan Sekolah Alam, Didik W. Kurniawan. Solopos, (10 Mei 2014) patut diapresiasi sebagai penawaran pendidikan sekolah alam, mengembalikan siswa menyatu dengan alam. Bisa main air, lumpur, merasakan desiran angin kebebasan di alam. Dalam hal ini kita bisa merujuk pada tradisi belajar mengajar pada masa Yunani kuno, di mana dari sanalah kita mengenal dunia pendidikan. Socrates menyelengarakan pendidikan di mana saja seperti di jalan-jalan, di taman-taman di berikan ajaran kepada rakyat dengan jalan percakapan (dialog), (Abbasi Fadlil,Sejarah Pendidikan, 2001 ).
Kebebasan belajar mengajar semacam tersebut jarang sekali kita temukan pada saat ini. untuk itu ST Kartono dalam bukunya Menembus Pendidikan yang Tergadai (2002) mengingatkan pada kita bahwa sebagai guru tidak patut memaksakan kehendak anak, dalam otonomi pendidikan dipahami sebagai sisi positif mengembangkan konteks masyarakat mengenai kebutuhan, sosial dan segala yang baik bagi masyarakat sekitarnya.
Dalam sejarah pendidikan di Indonesia, kita bisa melihat beberapa tokoh yang terpingit, terasingkan bahkan dipenjara. Seperti sosok Syahrir, Soekarno, Ki Hajar Dewantara dan Kartini bisa berkarya terutama dalam bidang literasi walaupun bukan pada ruangan tapi di sana ada satu kuncinya yaitu buku. Buku yang dijadikan senjata pembelajaran.
Namun kita harus mengakui bahwa keberadaan ruangan kelas tetap sangat dibutuhkan. Hanya saja persoalannya adalah sejauh mana kondisi ruangan tersebut mampu memberi ruang kebebasan kepada siswa untuk mengembangkan imajinasi. Di dalam ruang-ruang kelas harus disediakan buku, gambar-gambar, kliping koran yang akan menumbuh kembangkan imajinasi anak. Ruang kelas ditata sebagaimana perpustakaan sehingga di saat siswa membutuhkan refrensi dari imajinasinya maka dalam ruangan tersebut telah tersedia.
Barangkali yang menjadi problem dari pengadaan ruang kelas semacam perpustakaan adalah masalah dana. Namun jika pihak pengelola sekolah serius mengerjakan pasti bisa mengalokasikannya sebagaimana mereka mampu mengalokasikan untuk pembangunan gedung dan infrastruktur lainnya. Dengan model perpustakaan dalam ruang kelas setiap siswa bisa melihat buku setiap hari dan bisa berkembang menjadi cinta. Jika siswa sudah mencintai buku maka tanpa harus digurui mereka akan lahir sebagai siswa-siswa yang berprestasi. Itu pasti!.
Pendidikan di kelas semestinya berbuku. Tidak terlena terhadap kemegahan berbagai fasilitas modern tanpa ada kesadaran dan ingatan kita pada buku. Ketika siswa di kelas bertemu dengan buku maka akan pintar dan lebih bermartabat. Jadi siswa tidak perlu dipaksa untuk belajar kalau sudah mencintai buku. Buku akan membentuk karakter dirinya.


author

Posting ini ditulis oleh:

Ach. Fitri
Aktif sebagai Guru di Mushollah Fisabilillah Malang Jiwan, Aktif di  Jamaah Pengajian Selasa Siang dan Santri Di Bilik Literasi Solo. 
Tinggal di Villa Nusa Indah II Mushollah Fisabilillah Klegen Colomadu
Lebih Lengkap Tentang Penulis Kunjungi:

No comments:

Post a Comment

DMCA.com Protection Status Republik Borzil | Distributed By Blogger Templates | Designed By Templateism.com

Theme images by sndr. Powered by Blogger.