IIkatan hati antara kita dengan Kiai Idris boleh dikatakan lebih erat dibanding Kiai Maktum. Benar tidak? Sebab bagaimanapun, Kiai Idris lebih acap mendampingi tiap aktivitas kita di kampus Al-Amien dulu. Meski demikian, sosok Kiai Maktum mempunyai sisi menariknya tersendiri -barangkali di hati saya saja atau mungkin juga di hati kalian. Meski sejujurnya, kisah yang berkaitan dengan Kiai Idris lebih banyak saya dengar sejak kecil.
Namun pada suatu hari pandangan saya terbuka, mata saya berbinar, senyum saya merekah, kepala saya menggeleng tak habis-habisnya pada suatu pagi, ketika di sela pelajaran, kisah tentang Kiai Maktum menguntai bak berlian hingga rahim kekaguman saya pada Kiai Maktum resmi terlahir.
“Beliau akan dibunuh! Bayangkan, betapa hebat beliau” Nafas saya memburu, acuh pada sorot matahari yang hadir di celah jendela. Cerita ini demikian membuatku terhipnotis, kelas benar-benar hening, hanya terdengar desir angin yang menerpa lembar-lembar daun tembakau di ladang samping kelas. Hati saya menggumam ‘Ini cerita macam apa Tuhan? Sepanjang sekolah dari TK sampai SMP, saya banyak menjumpai guru-guru hebat dan jenius, tapi sedikitpun tak mendengar cerita ada di antara mereka yang menjadi korban perencanaan pembunuhan.’ Dahi saya mengernyit, bola mata saya liar mengikuti gerak bibir wali kelas saya ini, rasa penasaran saya memuncak dan kemudian otak saya menyimpulkan; tidak ada alasan lain, kejeniusan beliau pasti di atas rata-rata. Itu saja.
Ringkasnya, Kiai Maktum dikenal sebagai santri yang asal-asalan. Gemar membaca koran dan suka –atau bahkan hobi tidur di kelas. Tapi dengan segala macam “kemalasannya” itu, ia masih saja bisa “mempecundangi” kawan-kawannya yang rajin. Ia gagah berdiri di rangking pertama, sepanjang tahun, sepanjang musim, sepanjang enam tahun ia berguru di bawah asuhan Kiai Imam Zarkasyi. Sehingga nyaris nyawanya terenggut karena rasa iri beberapa temannya.
II
Prenduan adalah rumah, rumah tempat berbagai macam memori bertumpukan di sana. Memori menjadi santri, muallim juga Ustadz. Termasuk ketika pada suatu pagi, selepas jimbaz saya terlibat perbincangan sederhana dengan tukang sapu Al-Amien, Pak Ahsan Hasan. Matahari terbit, hawa mulai dingin, anak-anak berlarian, perbincangan kita mengalirkan hayalku.
Lima tahun yang lalu kisah perencenaan pembunuhan itu saya simak, masih sangat samar dan ambigu. Dan butuh waktu bertahun-tahun sampai Allah mengizinkan saya mendengar dengan sangat jelas bagaimana kisah perencanaan itu bermula. Mata saya tajam, memperhatikan gurat keriput di kulit-kulit tua Pak Ahsan. Saya laksana bocah kecil yang duduk manis mendengar cerita bapaknya.
“Pak Kiai Maktum akan dibuang ke sumur!” Tegasnya. Mata saya seolah tak berkedip. Otak saya mengejar kata demi kata yang meluncur dari pria tua itu. Seakan saya bertapa, mengonsentrasikan segala pikiran pada satu hal. Seolah saya berkhalwat, menyerahkan segala daya indra pada kisah yang membuat hati saya berdecak kagum ini. Matahari yang semakin bersinar dan menyapa wajah, benar-benar tidak saya gubris. Hingga kisah-kisah terkuak jelas. Tentang pemuda cerdas dari Madura, yang pada masanya, telah “menyikut” banyak orang dari pelosok negeri saat nyantri di Gontor.
Ringkasnya, puluhan tahun lalu di desa Ponorogo yang asri itu, tepat di pondok modern Gontor, lebih khusus lagi di sebuah kelas yang biasa, kegiatan belajar mengajar dilaksanakan sebagaimana mestinya. Adalah ia, anak dari Madura yang cerdas itu tertidur. Lagi-lagi dan untuk ke sekian kali ia pulas dalam lelap dan mengabaikan pelajaran. Sang gurupun memintanya berdiri di depan kelas, sebagai sebuah hukuman. Kemudian mengajukan syarat bahwa santri cilik itu boleh duduk asal ia dapat menjelaskan pelajaran dengan baik. Apa yang terjadi? Bahkan penjelasan anak kecil ini lebih detail dan jelas dibanding sang guru. Ia diperkenan duduk, namun rasa iri di hati kawan-kawannya telah membelenggu.
Hingga pada suatu malam saat sedang tidur bocah kecil ini diangkat oleh “musuh-musuhnya” dan hendak diceburkan ke dalam sumur. Tapi beruntung, kawan-kawanya dari Madura menguntit dan memergoki mereka hingga terjadi pertengkaran yang tidak kecil. Ia pun selamat. Konon, karena begitu ramainya Gontor akan kasus ini, Pak Kiai Imam Zarkasyi sampai mengundang Kiai Djauhari untuk datang ke Gontor dan berdiskusi. Sebagian berkata bahwa ini adalah modus Kiai Imam saja, sebab ia tidak pernah bertemu Kiai Djauhari dan merasa sangat penasaran dengan Ayah dari bocah-bocah cerdas yang dulu pernah menaklukkan Gontor dengan baik; Muhammad Tijani Djauhari, Muhammad Idris Jauhari dan yang terakhir Maktum Jauhari. Maktum Jauhari yang karena kejeniusannya hendak dilemparkan dalam sumur yang dalam.
Kisah ini benar-benar “memaksa” saya untuk kagum kepada Kiai Maktum. Sudah jelas buktinya. Sudah tak kasat mata lagi kenyataannya. Beliau memang cerdas dan hebat. Benar apa yang pernah dikatakan Din Syamsuddin, Ketua Muhammadiyah pada suatu kesempatan “Maktum adalah satu-satunya kawan yang tidak bisa saya geser dari peringkat pertama”.
III
Di kampung saya di Surabaya, identitas saya sebagai santri Al-Amien sangat kuat, semua orang di komplek mengenal hal itu. Sehingga setiap kali saya pulang ke kampung mereka bertanya banyak hal “Gimana Madura? Panas? Heheh” ,“santri Al-Amien sekarang banyakkah? “, “cara nyantri di sana gimana?” dan berbagai macam pertanyaan lainnya. Namun ada satu orang, yang pertanyaannya selalu sama setiap saya pulang. Dari tahun pertama saya nyantri, hingga tahun ketika saya sudah kuliah di Al-Azhar. Pertanyaan beliau adalah “Kiai Maktum sehat?”. Pertanyaan ini saya jawab sekenanya, sebab seringkali terlontar sebagai sebuah basa-basi saja.
Sampai suatu malam, saya bersama keluarga bertamu ke rumah beliau untuk silaturahim. Kemudian dia menyapa saya dengan sapaan Mesir banget “Zayyak? Hehe” saya jawab “Kheir Insya Allah”. Hati saya bergumam ‘Ini orang kok bisa bahasa Amiyah Mesir ya?’. Rasa penasaran saya menderas begitu saja. Saya duduk dengan menanggung beban pikiran tak sudah-sudah. Rasa “curiga” ini membuat saya tidak fokus bertamu hingga saya berani bertanya “Sampean kok tahu bahasa Mesir?”. Usut punya usut, dia pernah ngaji di Mesir dan pernah menjalin kontak yang lumayan sering dengan Kiai Maktum saat masih di Madinah. Maka ia pun bercerita soal Kiai Maktum.
Untuk ke sekian kali, saya kembali tegang, mendengar tiap ucap yang ia tuturkan, saya sorongkan badan, saya tarik kursi, saya ingin menyimak semua cerita tanpa ada yang tertinggal. Dan benar, malam itu kekaguman saya benar-benar telah melahirkan anak-anaknya yang ke sekian, tentang beliau, tentang Kiai saya yang tidak bisa banyak terjun di tengah santri karna sakit yang ia derita ini. Tentang kiai yang saya rasa, sangat ingin merekatkan ikatan batin dengan santrinya tapi kondisi yang tidak memungkinkan.
Ringkasnya, saat masih kuliah di Madinah, Kiai Maktum juga seorang mumtazer. Satu strip di bawahnya ada mahasiswa asal Suriah yang selalu gagal “menjegal” Kiai Maktum dari rangking pertama. Sampai pada suatu hari, Kiai Maktum difitnah mencuri sandal padahal waktu itu hendak ujian. Maka tak ayal, kampus Madinah pagi itu sangat ramai akan kasus ini. Mahasiswa Indonesia tentu tidak terima dengan fitnah yang menimpa Kiai Maktum. Mutlak, nilai mahasiswa pada pelajaran yang diujikan pada pagi itu merosot, konsentrasi mereka buyar dan terbang. Tapi masih ada satu orang yang Mumtaz, dia Kiai saya, Kiai anda, Kiai kita semua: Kiai Maktum Jauhari.
Sepanjang usia, baru di Al-Amien saya mendengar dengan lantang sesorang yang nyaris kehilangan nyawanya karena kejeniusannya. Nyawa loh ya? Bukan pensil? Atau bahkan difitnah besar-besaran. Dan beliau Kia saya sendiri.
Tapi tahukah anda? Pada suatu pagi, kami tim PUSDILAM pernah bertanya kepada Almarhum Kiai Idris tentang siapa yang paling cerdas di antara anak-anak Kiai Djauhari? Jawaban beliau benar-benar membuat melenceng dari perkiraan kami, beliau katakan “Yang paling cerdas di antara kita adalah Makhtumah, adiknya Maktum”. Saya tertohok, astaga, kalau Kiai Maktum yang cerdas aja sudah begitu dahsyatnya, sedahsyat apa kecerdasan Makhtumah ini?
Terimakasih!



No comments:
Post a Comment